Oleh:
If You Teach A Man its Means You Teach A Person…… But If You Teach A Woman, Its Means You Teach One A Family …….Even One Generation.
Kata-kata ini sangat memicu adrenaline guru terlebih mengajar untuk kaum perempuan. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap tanggal 21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini, sebagai hari emansipasi kaum perempuan, hal ini disebabkan karena menurut sejarah beliaulah (RA. Kartini) perempuan yang membawa kaum perempuan ke dunia yang mampu mengangkat harkat da martabat kaum perempuan yang lebih populer disebut dengan Emansipasi wanita. Sebenarnya bukan Kartini saja yang melakukan pejuangan dalam pergerakan kaum perempuan, di Sumatera Barat misalnya, Perjuangan kaum perempuan dalam lintas sejarah, tidak pernah berhenti. Perempuan minang juga berupaya selalu melakukan pergerakan-pergerakan yang sangat signifikan dalam melakukan perubahan terhadap pemberdayaan diri dan kaumnya. Di Minangkabau pun, sebagai daerah yang memiliki konsep lokal perempuan sebagai Bundo Kanduang juga mempunyai sejarah pergerakan pemberdayaan perempuan yang tak kalah lebih hebat dari R. A. Kartini. Setidaknya, hal ini dibuktikan oleh pergerakan Rohana Kudus dalam lintas pergerakan perempuan masa lalu di Minangkabau. Sebelum kita lebih jauh mengkaji persoalan pergerakan perempuan mari kita lihat dulu siapa sebenarnya Rohana Kudus itu. Rohana Kudus dilahirkan di Koto Gadang, ( Kab. Agam ) Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1884 dan beliau meninggal di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1972 dalam usia 88 Tahun, beliau dilahirkan dari rahim seorang ibu yang bernama Kiam dan ayahnya bernama Rasjad Maharaja Soetan. Rohana Kudus Merupakan kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi) dari penyair terkenal Khairil Anwar. Rohana hidup di zaman yang tidak jauh berbeda dengan zaman atau boleh dikatakan sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Menurut Sejarah Bapak Rohana Kudus adalah seorang yang bekerja pada salah satu lembaga pemerintahan Belanda pada waktu itu. Beliau adalah perempuan yang punya keperibadian yang sangat mengagumkan dan seorang perempuan yang cerdas, walaupun beliau tidak pernah bersekolah di bangku sekolah formal tapi beliau memiliki komitmen yang sangat kuat dalam kehidupan terutama dalam masalah pendidikan dan Agama khususnya pendidikan untuk kaum perempuan.
Beliau berpendapat bahwa adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam mendapatkan pendidikan yang layak adalah tindakan semena-mena yang harus dilawan. Dengan modal kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta semangat perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk suatu perubahan nasib terhadap kaum perempuan. Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai Pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda, bahkan sudah mampu tampil menjadi guru cilik bagi kawan-kawan sepermainannya, selain itu ia juga belajar Abjad Arab, Latin dan Arab Melayu. Pada Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan Pejabat Belanda atasan ayahnya. Isteri pejabat Belanda itu bisamenyulam, merenda, dll, nah dari Istri pejabat Belanda itulah Rohana memulai karier dengan belajar menyulam, menjahit, merenda dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
II. Pendidikan dan Wirausaha
Setelah Rohana kudus merasa ada bekal pengetahuan yang beliau miliki, Rohana muda kembali ke kampung Halamannya dan menikah dengan seorang Pemuda yang bernama Abdul Kudus yang pada waktu itu berprofesi sebagai seorang Notaris. Dengan bekal semangat juang dan ilmu pengetahuan yang beliau miliki itu maka beliau dirikanlah sekolah Keterampilan khusus bagi kaum perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang beliau beri nama dengan “ Sekolah Kerajinan Amai Setia ”. Menurut sumber yang penulis baca dari berbagai referensi dan berbagai media informasi, sekolah ini sudah punya mata pelajaran seperti : keterampilan menulis, keterampilan membaca, keterampilan membaca, keterampilan menyulam, bahkan sampai pada keterampilan memanage masalah keuangan, serta yang tak kalah pentingnya adalah mata pelajaran berbudi pekerti luhur, pendidikan agama dan bahasa Belanda. Dalam perjuangan Isteri Abdul Kudus tentu saja tidak melewati jalan yang mulus, banyak sekali rintangan dan halangan-halangan yang selalu menggerogoti dalam usahanya untuk mewujudkan impiannya itu menjadi kenyataan yakni cita-cita mulianya, dia rela jatuh bangun demi memperjuangkan nasib perempuan sekali lagi nasib perempuan, dengan berbagai benturan sosial yang dihadapi seperti harus menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya dari berbagai lini, hal ini tidak beliau pedulikan demi terwujudnya keinginan untuk memajukan kaum perempuan, yang hebatnya lagi justru gejolak social yang dihadapinya justru lebih membuatnya tegar dan semakin yakin dengan jalan yang akan ditempuhnya dan semakin yakin dengan apa yang akan dikerjakannya.Disamping beliau pintar dalam mengajar beliau punya kemampuan dalam dunia tulis menulis seperti menulis puisi dan artikel serta beliau juga fasih berbahasa Belanda. Yang tak kalahnya tutur katanya setara dengan orang yang berpendidikan tinggi, punya wawasan yang luas. Dengan berbagai aktifitas dan Kiprah Rohana yang sangat cemerlang dengan sosoknya yang sangat low profile hal ini menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya dituliskan di berbagai surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang beliau beri nama dengan “Sunting Melayu” pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Sumatera Barat yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah Rohana Kudus sang perempuan. Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama hanya sampai tanggal 22 Oktober 1916, hal ini disebabkan karena seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar berkeingin menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester dengan tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan disekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”. Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana School sangat terkenal dengan jumlah muridnya yang banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya yang sangat bagus.
Akhirnya karena beliau tidak puas dengan ilmu yang dimikinya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin jahit Singer ( Mesin yang paling canggih pada saat itu ). Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai oleh orang Cina.
Dengan kepandaian dan kepopuleran yang dimikinya itu maka Rohana dengan amat mudah mendapat tawaran mengajar disekolah Dharma Putra. Disekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru disini adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa perempuan itu harus berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Demikianlah Rohana Kuddus mengahabiskan 88 tahun umurnya ( Rohana meninggal pada 17 Agustus 1972) dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Rohana, namun sayang sekali Rohana kalah populer dibandingkan Kartini yang hanya berkorespondensi. Walaupun berbagai penghargaan telah diberikan untuknya, seperti Wartawati Pertama Indonesia (1974), Perintis pers Indonesia (1987) dan Bintang Jasa Utama (2008), namun semua itu belum membuat telinga kita terbiasa dengan nama Rohana. Perjuangan Rohana yang begitu kuat untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan sangat jelas dengan proses mencerdaskan kaum perempuan dengan mendirikan sekolah hal ini bakat ini sudah mulai terlihat sejak beliau umur 8 tahun sudah bias tulis dan baca dimana orang dan lingkungan sekitarnya masih belum mengenal huruf sehingga ia dengan umur yang sangat belia sudah mampu tampil sebagai guru cilik bagi kawan-kawan sepermainannya.
Pikiran-pikiran Rohana Kudus memang sedikit sekali dipublikasikan tapi apa yang dilakukannya lebih dari yang dilakukan R.A. Kartini.
III. Analisis para Pakar Sejarah
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini? Untuk kita renugkan dan fikirkan bersama dari tulisan yang penulis kutip dari media Internet bahwa sebuah artikel yang telah ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar yang mengkritik tentang “ Pengkultusan R. A Kartini sebagai salah satu Pahlawan Nasional perempuan Indonesia dan dinobatkan sebagai Tokoh Penggerak Emansipasi Wanita Indonesia, yang sebenarnya banyak lagi perempuan-perempuan lain yang lebih punya kiprah serta punya gerakan yang jelas dibanding dengan R. A Kartini. Menurut Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Hanya disebabkan karena Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara. Yang kemudian “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Pendek kata Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Social Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia. Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, kesimpulan guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi kaum perempuan di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meski pun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.” Saya mengimbau agar informasi tentang perempuan-perempuan Indonesia yang pintar-pintar dan hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan serta suri tauladan untuk banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal perempuan-perempuan ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa masih banyak perempuan-perempuan lain yang lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”Seperti sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti DewiSartika (1884-1947) di Bandung bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sekolah Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Perempuan Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau kita jauh melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum perempuan di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah perempuan hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-perempuan. Di Aceh, kisah kaum perempuan ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut perempuan pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan perempuan lain yang agamanya lebih kuat dibanding dengan R.A. Kartini, mereka juga tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Kemudian Bagaimana dengan Kartini, ternyata orang yang selama ini dipuja-puja sebagai perintis emansipasi wanita di tanah air, ternyata kalah start dari Rohana. Jauh sebelum Kartini menuntut ilmu di sekolah perempuan Rembang, Rohana Kudus dan teman-temannya telah merintis ‘komunitas’ perempuan Koto Gadang untuk melek huruf! Tapi Kartini, malah rela dipingit, lalu menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.
Nah Siapakah yang pantas untuk memakai jubah kebasaran itu????
Tapi jubah itu sudah terpasang pada RA Kartini…biarlah…n what Ever…
Wallahu a’lam Bisshawab