Ushul as-Sarkhasi
Dalam kajian ushul al-fiqh nama Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl as-Sarkhasi adalah nama yang tidak asing lagi. Ia termasuk salah satu ulama cerdas yang berdiri di garda terdepan madzhab Hanafi. Kedigdayaan intelektual dan kezuhudan yang luar biasa telah menempatkan dirinya sebagai al-Imam al-Ajall az-Zahid Syam al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam).
Tahun kelahiran as-Sarkhasi tidak diketahui secara pasti, bahkan tahun wafatnya pun diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan ia meninggal dunia di penghujung tahun 490 H. Riwayat lain mengatakan ia wafat pada tahun 483 H, bahkan ada yang mengatakan ia berpulang ke rahmatullah di penghujung tahun 500 H. Di antara warisan intelektual as-Sarkhasi yang dapat kita nikmati ialah kitab Syarh as-Siyar al-Kabir, al-Mabsuth, dan Ushul as-Sarkhasi.
Tokoh yang satu ini merupakan pakar fiqh sekaligus ushul fiqh Madzhab Hanafi. Melalui kitabnya yang dikenal dengan nama Ushul as-Sarkhasi ia menuangkan pikiran-pikirannya mengenai ushul al-fiqh untuk membela keputusan-keputusan hukum dari kalangan madzhab-nya. Dengan demikian, corak ushl fiqh-nya mengikuti thariqah al-hanafiyyah bukan thariqah al-mutakallimin.
Dalam pengantarnya, as-Sarkhasi mengemukakan alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab tersebut. Bermula setelah menulis anotasi (syarh) terhadap beberapa kitab Muhammad bin al-Hasan, kemudian ia berfikir untuk menjelaskan al-ushul yang melandasi anotasinya agar dapat mempermudah dalam memahami al-furu’. [Jilid, I, h. 10].
Membincang ushul al-fiqh berarti membincang metodelogi dan proses terbentuknya sebuah ketetapan hukum fiqh. Seorang dianggap sebagai ahli fiqh sejati jika dirinya memiliki setidaknya tiga hal. Pertama, ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang disyariatkan. Kedua, memiliki keahlian khusus dalam mengetahui hal-hal yang disyariatkan melalui nash berserta maknanya dan dapat memferifikasi al-ushul dengan pelbagai al-furu’-nya. Atau dengan kata lain dalam mengetahui hal-hal yang disyari'atkan tadi ia menggunakan metode analisis hukum. Ketiga, mengamalkan semua semua.
Karenanya, orang yang hanya hafal hal-hal yang disyari'atkan saja tapi tidak menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, maka ia bukanlah ahli fiqh sejati, tetapi lebih tepat disebut sebagai rawi. Sedang seandainya, ia hafal hal-hal yang disyari'atkan tersebut dan menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, tetapi tidak mengamalkanya, maka ia hanya disebut sebagai ahli fiqh yang parsial (min wajh duna wajh). [jilid, I, h. 10].
Pandangan di atas acapkali -menurut Khaled Abou El Fadl- menimbulkan ketegangan antara kelompok ahli fiqh dengan kalangan ahli hadits yang proses analisis hukumnya sebagian besar bersifat mekanis, yaitu hanya mencari-cari hadits yang cocok untuk dipasang pada persoalan yang dihadapi dalam situasi faktual. [Khaled M. Abou El Fadl, Speaking of God’s diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin, Atas Nama Tuhan, Serambi, h. 91-92].
Gaya penyusunan kitab as-Sarkhasi memang agak sedikit menyulitkan pembacanya. Sebab, dibutuhkan kemapuan prima dan ketelitian extra agar dapat menyambungkan hubungan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Dan rasanya takterbantahkan bahwa argumen-argumen dan pemikiran ushul al-fiqh-nya yang nota benenya adalah sebagai penjelasan teoritis dari anotasinya atas kitab-kitab Muhammad bin Hasan layak untuk diperhitungkan.
Bab pertama yang dikupas as-Sarkhasi dalam kitabnya adalah mengenai amr (perintah) dan nahy (larangan). Pilihan untuk meletakkan kedua hal tersebut pada pembahasan pertama bukan tanpa alasan. Menurutnya, pembahasan mengenai perintah dan larangan merupakan hal yang mendasar karena sebagian besar ibtila` (ujian bagi manusia) itu berurusan dengan soal perintah dan larangan. Di samping itu, pengetahuan tentang keduanya akan dapat menyempurnakan pengetahun tentang ahkam dan perbedaan halal-haram. [Jilid, I, h. 11].
Adapun mengenai sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas hanya disebutkan sekilas saja. Itu pun dalam rangka menjelaskan aborgasi (an-Nasikh wa al-Mansukh). [untuk lebih jelasnya lihat jilid, II, h. 65-86]. Lantas bagaimana kita bisa mengetahaui aborgasi? As-Sarkhasi mengatakan aborgasi dapat diketahui dengan sejarah. Dan pengetahuan tentang aborgasi juga dapat berguna menafikan adanya pertentantangan (ta’arudh) antar nash. Pandangan ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya yang wajib adalah memahami sejarah (al-wajib fi al-ashl thalab at-tarikh).
Di samping itu dalam pandangan as-Sarkhasi asbab an-nuzul juga memeliki peran signifikan dalam menyelesaikan ta’arudh. Ia mengatakan bahwa apabila terjadi dua ayat yang saling bertentangan maka jalan keluarnya adalah kembali kepada asbab an-nuzul keduanya agar sejarah keduanya dapat diketahui. Jadi, pada dasarnya ta’arudh itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. [Jilid, II, h. 12 dan 13].
Konsekuensi dari pendekatan yang dilakukan as-Sarkhasi adalah bahwa kesimpulan hukum diambil dari kekhusuan sebab (al-‘ibrah bi khusush as-sabab). Hal ini juga menegaskan adanya hubungan antara realitas dan wahyu. Atau dengan kata lain, wahyu tidak turun diruang hampa. Tetapi, kembali kepada asbab an-nuzul bukan tanpa persoalan serius. Pandangan ini tetap menyisakan setidaknya dua persoalan yang harus segera diatasi. Pertama, tidak semua ayat al-Qur`an memiliki asbab an-nuzul. Kedua, riwayat yang beredar mengenai asbab an-nuzul masih dipertanyakan validitasnya. Lantas bagaiamana dengan jawaban as-Sarkhasi tentang kedua hal tersebut?
Karena keterbatasan ruang dan waktu saya tidak akan membahas bagaimana jawaban as-Sarkhasi mengenai kedua persoalan di atas. Tetapi hemat saya kitab Ushul as-Sarkhasi harus dibaca jika kita ingin melihat kepiawian argumentasi asr-Sarkhasi, terutama dalam membela dasar-dasar fiqh madzhab hanafi.
Salam
Tentang Kitab
Tokoh yang satu ini merupakan pakar fiqh sekaligus ushul fiqh Madzhab Hanafi. Melalui kitabnya yang dikenal dengan nama Ushul as-Sarkhasi ia menuangkan pikiran-pikirannya mengenai ushul al-fiqh untuk membela keputusan-keputusan hukum dari kalangan madzhab-nya. Dengan demikian, corak ushl fiqh-nya mengikuti thariqah al-hanafiyyah bukan thariqah al-mutakallimin.
Dalam pengantarnya, as-Sarkhasi mengemukakan alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab tersebut. Bermula setelah menulis anotasi (syarh) terhadap beberapa kitab Muhammad bin al-Hasan, kemudian ia berfikir untuk menjelaskan al-ushul yang melandasi anotasinya agar dapat mempermudah dalam memahami al-furu’. [Jilid, I, h. 10].
Membincang ushul al-fiqh berarti membincang metodelogi dan proses terbentuknya sebuah ketetapan hukum fiqh. Seorang dianggap sebagai ahli fiqh sejati jika dirinya memiliki setidaknya tiga hal. Pertama, ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang disyariatkan. Kedua, memiliki keahlian khusus dalam mengetahui hal-hal yang disyariatkan melalui nash berserta maknanya dan dapat memferifikasi al-ushul dengan pelbagai al-furu’-nya. Atau dengan kata lain dalam mengetahui hal-hal yang disyari'atkan tadi ia menggunakan metode analisis hukum. Ketiga, mengamalkan semua semua.
Karenanya, orang yang hanya hafal hal-hal yang disyari'atkan saja tapi tidak menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, maka ia bukanlah ahli fiqh sejati, tetapi lebih tepat disebut sebagai rawi. Sedang seandainya, ia hafal hal-hal yang disyari'atkan tersebut dan menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, tetapi tidak mengamalkanya, maka ia hanya disebut sebagai ahli fiqh yang parsial (min wajh duna wajh). [jilid, I, h. 10].
Pandangan di atas acapkali -menurut Khaled Abou El Fadl- menimbulkan ketegangan antara kelompok ahli fiqh dengan kalangan ahli hadits yang proses analisis hukumnya sebagian besar bersifat mekanis, yaitu hanya mencari-cari hadits yang cocok untuk dipasang pada persoalan yang dihadapi dalam situasi faktual. [Khaled M. Abou El Fadl, Speaking of God’s diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin, Atas Nama Tuhan, Serambi, h. 91-92].
Gaya penyusunan kitab as-Sarkhasi memang agak sedikit menyulitkan pembacanya. Sebab, dibutuhkan kemapuan prima dan ketelitian extra agar dapat menyambungkan hubungan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Dan rasanya takterbantahkan bahwa argumen-argumen dan pemikiran ushul al-fiqh-nya yang nota benenya adalah sebagai penjelasan teoritis dari anotasinya atas kitab-kitab Muhammad bin Hasan layak untuk diperhitungkan.
Bab pertama yang dikupas as-Sarkhasi dalam kitabnya adalah mengenai amr (perintah) dan nahy (larangan). Pilihan untuk meletakkan kedua hal tersebut pada pembahasan pertama bukan tanpa alasan. Menurutnya, pembahasan mengenai perintah dan larangan merupakan hal yang mendasar karena sebagian besar ibtila` (ujian bagi manusia) itu berurusan dengan soal perintah dan larangan. Di samping itu, pengetahuan tentang keduanya akan dapat menyempurnakan pengetahun tentang ahkam dan perbedaan halal-haram. [Jilid, I, h. 11].
Adapun mengenai sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas hanya disebutkan sekilas saja. Itu pun dalam rangka menjelaskan aborgasi (an-Nasikh wa al-Mansukh). [untuk lebih jelasnya lihat jilid, II, h. 65-86]. Lantas bagaimana kita bisa mengetahaui aborgasi? As-Sarkhasi mengatakan aborgasi dapat diketahui dengan sejarah. Dan pengetahuan tentang aborgasi juga dapat berguna menafikan adanya pertentantangan (ta’arudh) antar nash. Pandangan ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya yang wajib adalah memahami sejarah (al-wajib fi al-ashl thalab at-tarikh).
Di samping itu dalam pandangan as-Sarkhasi asbab an-nuzul juga memeliki peran signifikan dalam menyelesaikan ta’arudh. Ia mengatakan bahwa apabila terjadi dua ayat yang saling bertentangan maka jalan keluarnya adalah kembali kepada asbab an-nuzul keduanya agar sejarah keduanya dapat diketahui. Jadi, pada dasarnya ta’arudh itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. [Jilid, II, h. 12 dan 13].
Konsekuensi dari pendekatan yang dilakukan as-Sarkhasi adalah bahwa kesimpulan hukum diambil dari kekhusuan sebab (al-‘ibrah bi khusush as-sabab). Hal ini juga menegaskan adanya hubungan antara realitas dan wahyu. Atau dengan kata lain, wahyu tidak turun diruang hampa. Tetapi, kembali kepada asbab an-nuzul bukan tanpa persoalan serius. Pandangan ini tetap menyisakan setidaknya dua persoalan yang harus segera diatasi. Pertama, tidak semua ayat al-Qur`an memiliki asbab an-nuzul. Kedua, riwayat yang beredar mengenai asbab an-nuzul masih dipertanyakan validitasnya. Lantas bagaiamana dengan jawaban as-Sarkhasi tentang kedua hal tersebut?
Karena keterbatasan ruang dan waktu saya tidak akan membahas bagaimana jawaban as-Sarkhasi mengenai kedua persoalan di atas. Tetapi hemat saya kitab Ushul as-Sarkhasi harus dibaca jika kita ingin melihat kepiawian argumentasi asr-Sarkhasi, terutama dalam membela dasar-dasar fiqh madzhab hanafi.
Salam
Tentang Kitab
Penulis | : | Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahl as-Sarkhasi |
Judul | : | Ushul as-Sarkhasi |
Penerbit | : | Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah |
Pentahqiq | : | Abu al-Wafa al-Afghani |
Cet | : | Ke, II, tahun 1426 H / 2005 M |
Tebal | : | Dua jilid besar, 804 halaman. |
No Response to "Mengenal Sosok as-Sarkhasi dan Ushul as-Sarkhasi-nya"
Posting Komentar